Terkesima
Lanjutan Lukisan Senja
Senja berangsur pergi meninggalkan moment yang terkisahkan hari ini. Biarkan menjadi kenangan antara aku dan Delia sahabatku. Suatu saat pasti rindu akan kebersamaan yang kami bangun. Bagaikan saudara, dan tinggal beberapa bulan lagi harus berpisah oleh jarak.
Senja berangsur pergi meninggalkan moment yang terkisahkan hari ini. Biarkan menjadi kenangan antara aku dan Delia sahabatku. Suatu saat pasti rindu akan kebersamaan yang kami bangun. Bagaikan saudara, dan tinggal beberapa bulan lagi harus berpisah oleh jarak.
Tak ada yang tahu akhir
cerita hidup ini, hanya goresan tangan Tuhan yang menentukan. Begitu juga
dengan satu nama yang akhir-akhir ini selalu mengisi otak ku. Rama, lelaki yang
mulai memberiku warna berbeda. Harapan tak ingin membuka hati lagi, tetapi Tuhan
telah berencana. Kehadiran Rama melukiskan desiran hati kepadaku.
Tepat hari ini, rasa yang
dulunya membeku, tetiba luluh. Rama datang lagi ke Pacitan hanya untuk bertemu
denganku. Jarak tempuh yang cukup jauh Jogja-Pacitan. Batinku juga tak percaya,
rasa kepedeanku kambuh lagi.
Siang itu, ketika
aku masih berada di rumah, sesorang mengetuk pintu. Mengucapkan salam, ku
kira adik ku. Setelah aku buka, mataku terbuka lebar. Kaget bukan kepalang.
“Kau?!! Dari mana kamu
tahu rumahku?” tanyaku kaget. Sedetik kemudian aku menyadari, aku tak
menggunakan jilbab, rambut panjangku terurai. Aku pun langsung balik badan
secepatnya kembali ke dalam rumah dan mengambil jilbab instan.
Rama masih berdiri
mematung di depan pintu, setelah memakai jilbab aku pun menemui dirinya.
“Aku tahu rumahmu dari
orang sekitar sini saja Han. Untungnya tidak kesasar,” tutur Rama menjelaskan.
“Truss..ada apa kamu
datang ke rumah ku? Kok ndak kabar-kabar sebelumnya,” tanyaku beruntun.
“Emmm..kejutann,”
jawabnya pelan.
Benarkah itu kejutan? Perasaan
hari ini bukan ulang tahun ku deh. Batinku juga bahagia kalau ia datang
menemuiku. Rama-Rama, secepat ini kah dirimu memberikan kejutan untukku?
“Sendirian??” tanyaku
lagi.
“Iya,” jawabnya singkat.
Aku tengok kanan kiri tak
ada orang dan mengarahkan padanganku ke belakang Rama, memang tak ada orang
lagi. Iya dia sendiri, tanpa seseorang yang menemani.
Aku tak mempersilakan
masuk ke dalam rumah, karena tak ada siapa-siapa. Ibu belum pulang dari pasar
sedangkan Hamdan entah kemana.
“Di luar saja ya, maaf di
dalam tak ada siapa-siapa,” pintaku sambil mempersilakan duduk di kursi
plastik. Untungnya dia memahami posisiku. Jika ada ibu atau hamdan mungkin aku
persilakan masuk ke dalam rumah.
“Iya tak apa-apa Han,”
kata Rama. Wajah lelah Rama sangat terlihat, aku pun mengambilkan minuman dan
makanan kecil.
Komentar
Posting Komentar