Mutiara Berkilau di Pelosok Desa


            Jagalah hati, jangan kau kotori. Jagalah hati, lentera hidup ini. Lirik ini sangat bermakna sekali bagi kehidupan sehari-hari. Lagu yang dipopulerkan oleh Snada, membuatku lebih dan harus berpikir positif dan membuat segala pikiran negatif yang dapat membuatku terjun ke limbah yang tak aku inginkan. Ya namaku Anisa Khotimah. Di lahirkan dari lingkungan pesantren membuatku merasa bersyukur. Nikmat yang terus aku ucapkan untuk mengungkapkan rasa bahagia. Bapak dan Ibu yang memberikan pendidikan moral baik untuk ilmu di dunia dan akhirat. Walaupun keluargaku tak berlimpah harta, namun kami begitu bahagia dengan kesederhanaan itu.
            Saat ini aku bertekad untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi di daerahku. Ya aku harus bisa untuk mewujudkan impian dan cita-cita. Pasti ada jalan menuju apa yang diimpikan. Aku percaya itu. Ekonomi tidak menjadi penghalang untuk tetap kuliah. Ingat pesan dari seseorang “Tetap dan yakin bahwa kamu mampu dan bisa. Tiada yang tidak mungkin di dunia ini. Orang lain bisa kamu juga pasti bisa. Benakku selalu berpikir tentang pesan itu. Sederhana tapi semangat itu yang membuatku tetap bertahan. “Nisa, bapak akan kerja keras lagi. Kamu anak perempuan bapak yang cantik. Kamu pasti bisa.” Bapakku juga memberikan semangat. Memang kami dari keluarga yang sederhana, bapak pekerja sebagai tukang bangunan dan ibu membuka warung kecil-kecilan di rumah.  Ahmad adikku juga masih mengenyam pendidikan di SD. Ya aku sebagai anak pertama harus memikirkan bagaimana caranya agar aku tidak selalu membebankan semuanya kepada orang tua.
Ketika di kamar,  aku merenung beberapa menit. Memandang sejenak kaca melihat diriku ada didalamnya. “Huft..Nisa ya Anisa Khotimah kamu iya kamu harus bisa berpikir untuk menyelesaikan apa yang ada dihadapi sekarang. Kerja paruh waktu..emmm itu tidak masalah.” Menghela nafas panjang dan diam sesaat. Langsung seketika ku bersemangat. “Ya aku harus bekerja untuk mendapat uang untuk kuliah.” Tidak masalah walaupun menempuh pendidikan di dalam kota. Yang penting aku harus semangat untuk kuliah”.
 Pagi yang cerah. Dengan balutan jilbabku, berjalan dengan semangat menyusuri lorong sekolahan untuk mengambil selembar ijazah. Alhamduliah tetap bersyukur kepada Allah swt masih memberikan kemudahan untuk meraih prestasi. Sekarang yang aku pikirkan tetap dan tetap fokus dengan pendidikan.
            “Nisaaaa.....panggil seseorang yang familiar di telingaku ketika aku beranjak keluar dari ruang guru. Seketika ku menoleh. Ternyata Reni.
            Aku pun langsung melampaikan tangan dan menghampirinya. “Hai Ren...bagaimana ijazah kamu sudah diambil?
            Sudah Nis,. Ia teman-teman sekelas mau mengadakan perpisahan khusus untuk kelas kita.
            Wahhh...oke tuh, “ jawabku semangat sambil melangkah di sebelah Reni.
            “Oke, ea selamat ya kamu masih tetep juara dan berprestasi. Tiba-tiba Reni memberikan selamat dan memelukku. Aku jadi terharu. Sahabatku yang paling baik. Mungkin sebentar lagi kita akan berpisah untuk menentukan masa depan masing-masing untuk meraih pendidikan yang lebih baik. Cita-cita dan tujuan.
Nanti malam jangan lupa hadir di rumahnya Fikri ya,” Reni mengingatkanku untuk acara perpisahan.
“Siap Ren, kita bareng ya ke sana. Maklum aku lupa jalan ke rumahnya Fikri.”

**
Waktu telah cepat berganti jam menunjukkan pukul 7 malam. Ku bergegas bersiap menghadiri acara perpisahan di rumah Fikri. 3 tahun bersama membuatku tak ingin berpisah, rasanya masih betah dengan teman-teman sekelas. Untuk memeriahkan acara perpisahan teman-teman mengadakan permainan, bernyanyi, dan bercerita suka-duka bersama.
 Hal yang paling ingin aku tahu ketika pernah mendapatkan sepucuk surat di bawah meja. Sampai sekarang belum tahu siapa penulisnya. Dan malam ini saat acara perpisahan diriku mendapatkan lagi surat di tempatku duduk.Tak sempat membaca isi kertas itu apa.  Penasaran kembali menghantui dan mengusikku. “Siapakan yang selama ini mengirimkannya? Apakah aku mengenalnya? Apa benar itu hanya orang iseng saja. Pikiran tentang surat tersebut ia buang. Sekarang waktunya untuk menikamti kebahagiaan dengan teman-teman.
Namun tidak dengan seseorang yang terus memandangku dari kejauhan. Zain namanya. Sesosok pendiam dan misterius. Tak pernah berbaur dengan yang lainnya. Zain terkenal menyendiri dan tak banyak omong. Dengan segelas air ia duduk menyendiri sambil memainkan tuts Hp. Ia tersenyum melihat gerak-gerik diriku. Merasa curiga juga diriku. Tak tahu apa yang ada dalam benak Zain. Cowok pindahan dari Solo.
Sepulang dari acara di rumah Fikri, ku bergegas pulang. Karena harus merencanakan sesuatu dan mempersiapkan berkas untuk mendaftarkan ke perguruan tinggi. Fokus dengan tujuan awal. Namun aku masih harus membuka isi surat yang aku dapatkan di rumah Fikri. Perlahan ku buka. Penasaran terus membuncak. Siapakah yang menulis ini.
Dirimu ya aku tak tahu...
Angin memberikan tanda untukku..namun aku ragu
Goresan senyuman bagaikan embun pagi yang hadir
Menyejukkan hati,
Aku tak percaya...siapa dirimu sebenarnya.
Di kala mendung ceriamu membangkitkanku
Rintikan hujan tak membiarkan keluh kesah menghampirimu
Aku ragu untuk berbicara langsung
Apakah diri ini patut untuk merasuk ke relung batinmu
           

            Siapa yang menulis ini??? “batinku termangu. Aku pun berpikir keras, siapa temen sekelasnya menulis bait-bait puisi ini. Sepertinya tidak ada. Lembaran kertas ungu masih tersimpan dalam dompet. Ya semoga suatu saat aku bisa tahu siapa yang menuliskan ini. Untuk saat ini, aku putuskan memikirkan dan fokus mencari uang untuk kuliah,

Bersambung...
#ODOP




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegagalan

MENUNGGU CINTA DATANG DI WAKTU YANG TEPAT

Rindu Suasana Kerja Yang Dulu