Bolehkah Aku Panggil Mz. Coffy?
“Mz Coffy”. Bibir ini tak lepas dari kata itu. Sebutan untuk seseorang yang merubah hidupku akhir-akhir ini. Namun aku lebih suka memanggilnya Mz Coffy daripada namanya asli yaitu Mz Rinat.. Berawal dari secangkir kopi yang menjadi minuman kesukaan. Aku tertarik dengan apa yang menjadi kesukaannya. Secangkir kopi yang kuhidangkan membuat rindu untuk melakukannya lagi. Mungkinkah aku merindukannya?. Tak tahulah. Senyuman manis yang baru pertama aku lihat dan serasa itu sebuah kebahagiaan, ketika diam-diam aku mengintip dia memnimum secangkir kopi yang aku hidangkan untuknya. Itu hanya perasaanku sajakah. Cukup senang aku melihatnya.
Ingatan ini masih lekat dengan proses ketidaksengajaanku bertemu Mz Coffy. Kejadian membuatku kesal jika harus berhadapan dengannya. Gara-gara
kecerobohanku menumpahkan segelas kopi ke bajunya. Sontak dengan wajah malu,
aku minta maaf sambil membersihkan baju yang terkena tumpahan kopi. Tak aku
sangka raut mukanya berubah dengan sedikit kesal dia memarahiku. “Kamu ini bisa lihat tidak. Badan segini
gede, kamu tabrak. Matanya itu jangan
jelalatan.” Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, minta maaf
malah membuatnya kesal. Duhhh kata-katanya itu yang tidak dan tidak aku suka.
Emang sih ini kesalahanku yang tidak bisa fokus jalan karena sambil bicara
dengan temanku. Malah jadi kesal sendiri dengan orang yang aku tabrak itu. Aku
pun menimpali omongannya yang mungkin sedikit
tidak terima. Namun ku tahan amarahku. “Maaf mz..memang saya salah, tapi
kan sudah minta maaf. Kopinya akan saya
ganti beli lagi.”
Dengan wajah judesnya. “Sudah tak perlu, aku sudah tidak
mood lagi minum." Sambil ngloyor jalan pergi, aku hanya menatapnya bengong.
Haduhhh...sungguh sial aku hari ini. Ketemu sama orang yang super nyebelin,
sudah minta maaf mau diganti kopinya. Ehh malah gak digubris. Aneh tuh orang. Zeni yang sedari tadi mendampingiku pun juga
ikut kesal. Namun perasaan tetap saja tidak enak, tapi ya sudahlah mau apa lagi.
Orang yang sudah terlanjur pergi.
Tiga minggu menjadi wartawan di sebuah majalah remaja, sangat menyenangkan
sekali. Keinginanku untuk terjun di dunia jurnalistik sudah dari masa aku
kuliah, akhirnya terwujud. Tetap menikmati prosesnya. Perjuangan yang tetap harus aku lalui. Tak
ingin menyerah untuk menampilkan dan menyajikan yang terbaik.
Pertemuanku dengan Mz Coffy terulang kembali.
Ketidaktahuanku membuatku super dubbel malu banget. Tiga minggu mungkin
menurutku waktu yang tak lama. Masih baru dan belum mengenal semua karyawan
yang berada di majalah remeja tempatku bekerja. Waktu itu semua karyawan
disuruh untuk berkumpul di kantor sebelum berangkat bertugas. Terdengar kabar
kalau ada pergantian pimpinan redaksi untuk menggantikan sementara Pak Agus
yang sedang sakit. Ketika yang datang adalah orang yang pernah aku tumpahkan
kopi kebajunya. Aku kaget bukan main. Ternyata orang itu?????? Bagaimana ini?? Lumayan masih muda. Kira-kira seumuran.
Namanya Rinat Dwi Anggara. Apalagi penjelasannya kalau dia lulusan luar negeri.
Tambah mengagumkan. Busyettttttt...deh.
Matanya sontak menatapku, namun aku segera menunduk. Ada
perasaan takut, was-was, gak enak banget pokoknya. Pengen cepat bertugas ke
lapangan. Zeni yang duduk disampingku membisikiku. “Renata..itu kan yang
kemarin kita bertemu di kantin, waktu kamu numpahin kopinya."
Apa
iya ya??? Aku masih belum percaya kalau dia akan menjadi pimpinan kita.
Ketika dia tiba-tiba menghampiriku,
aku tambah menunduk agar tidak ketahuan kalau aku pernah menumpahkan kopi
dibajunya. Pikiranku sudah tidak karuhan, mungkinkah dia akan memecatku
gara-gara peristiwa tersebut. Apakah malah akan memotong gajiku untuk membeli
bajunya. Tak tahulah. Detak jantungku seakan mau copot.
“Siapa
namamu?” sambil menatapku seakan tak ingin lepas dengan mangsanya.
Bibirku
serasa berat untuk menjawab pertanyaan.
“Renata Mz..eh Pak..hehe," jawabku gagap. Duh salah ucap mas lagi. Gawat nih..seperti masih seumuranku sih orangnya...hehehe.
“Renata Mz..eh Pak..hehe," jawabku gagap. Duh salah ucap mas lagi. Gawat nih..seperti masih seumuranku sih orangnya...hehehe.
Dengan
senyuman yang tak bisa aku artikan, dia pun langsung pergi tanpa seucap
katapun. Dia seakan sudah tahu atau
mungkin pura-pura tidak tahu dengan peristiwa kemarin di cafetaria. Ya
allah..semoga hari ini baik-baik saja.
Setelah perkenalan dengan pimpinan baru, saat aku akan berangkat ke lapangan. Aku
disuruh untuk menghadap. Duhh perasaan sudah tak karuhan..apakah aku harus
menemuinya. Sesampainya diruangan tubuhku serasa kepanasan, padahal ruangannya
ber AC. Hmmm..mungkin rasa grogi mengalahkan ruangan dingin ini. Tubuh tegap,
tinggi cukup membuatku terpesona sesaat. Namun seketika itu sirna. Kekesalanku
bertambah dengan kehadirannya. Tanpa menyuruhku duduk, Mz Rinat pimpin redaksi
baru seakan sudah tahu dengan peristiwa itu.
“Mungkin dirimu sudah tahu, kenapa kamu saya panggil ke sini.” Ini sebuah hukuman yang harus kamu jalani. Selama sebulan sebelum kamu ke lapangan, harus menyiapkan secangkir kopi dan harus sudah ada diatas meja tepat jam 7 pagi. Saya tidak akan memberikan pilihan atau opsi apapun. Aku hanya bengong beberapa detik. Rasa kaget yang belum hilang aku memberanikan diri untuk berdalih.
“Mungkin dirimu sudah tahu, kenapa kamu saya panggil ke sini.” Ini sebuah hukuman yang harus kamu jalani. Selama sebulan sebelum kamu ke lapangan, harus menyiapkan secangkir kopi dan harus sudah ada diatas meja tepat jam 7 pagi. Saya tidak akan memberikan pilihan atau opsi apapun. Aku hanya bengong beberapa detik. Rasa kaget yang belum hilang aku memberanikan diri untuk berdalih.
“Haduh
pak..permintaan maaf kemarin apa belum cukup buat bapak. Apa saya perlu
mengganti kerugian bapak dengan peristiwa itu. Berapa saya harus bayar pak??.”
“Kamu harus
membayarnya dengan melakukan apa yang
sudah saya katakan tadi, tanpa harus membantah, tanpa harus menolak. Dan
dimulai besok.!!! Jika kamu ingin seterusnya disini.”
Tubuhku lemas, tak menyangka
peristiwa secangkir kopi akan menjadi seperti ini. Mimpi apa semalam aku Ya
Rabb. Harus bertemu dengan orang yang sangat menyebalkan. Apakah permintaan
maafku tidak diterima. Mungkinkah ini skenario-Mu.
Pagi pun aku berangkat lebih awal membuatkan kopi untuk Pak
Rinat, bos baru yang super nyebelin. Untungnya aku sudah terbiasa membuat kopi untuk
bapak di rumah. Semoga saja Pak Rinat suka dengan rasanya. Di dapur kantor bau
harum membuatku ingin minum juga. Rasanya sungguh nikmat, pagi yang cerah sudah
ditemani secangkir kopi. Tidak tahu kenapa hati merasa senang hanya dengan
meminum kopi. Apa benar orang bilang kopi adalah teman setia yang paling mengerti.
Sruputttt, sruputttttttt
Secepatnya aku pergi ke ruangan Pak Rinat sembari membawa
secangkir kopi. Ku ketuk pintu, sambil aku membukanya. Degggg... Pak Rinat
sudah berada di ruangan. Langsung aku meletakkan kopi dihadapannya. Mungkinkah dia suka?? Semoga saja. Ini baru
satu kali, masih ada sisa waktu 29 hari aku harus menyajikan.
Sebelum aku keluar dari ruanganya, dia memanggilku. Renata, aku menoleh menatapnya langsung. Deg...mata yang bertabrakan saling menatap. Langsung aku mengalihkan pandangan ke sisi lainnya. Desiran di dalam hati seakan tak berhenti. Sambil meminum kopi buatanku, Pak Rinat diam sejenak sambil matanya menatap secangkir kopi. Perasaanku mulai khawatir, apa ada yang salah dengan kopiku. Apakah aku salah memasukkan gula. Mungkinkah butiran garam yang aku masukkan. Entahlah. Aku pun disuruh keluar tanpa ada sepatah kata yang terlontar, sebelum aku menanyakan bagaimana rasa dari kopi buatanku.
Sebelum aku keluar dari ruanganya, dia memanggilku. Renata, aku menoleh menatapnya langsung. Deg...mata yang bertabrakan saling menatap. Langsung aku mengalihkan pandangan ke sisi lainnya. Desiran di dalam hati seakan tak berhenti. Sambil meminum kopi buatanku, Pak Rinat diam sejenak sambil matanya menatap secangkir kopi. Perasaanku mulai khawatir, apa ada yang salah dengan kopiku. Apakah aku salah memasukkan gula. Mungkinkah butiran garam yang aku masukkan. Entahlah. Aku pun disuruh keluar tanpa ada sepatah kata yang terlontar, sebelum aku menanyakan bagaimana rasa dari kopi buatanku.
Tak terasa hampir dua minggu aku melakukan tugas hukuman. Perasaan
kesal serasa hilang dengan hadirnya secangkir kopi. Banyak teman di kantor
merasa iri. Pak Rinat orangnya dingin, tak banyak cakap. Cool. Tampan. Cerdas dan kreatif. Tapi sampai sekarang dia belum
pernah mengatakan rasa kopi buatanku.
Dan inilah yang membuatku penasaran. Waktu yang sangat cepat
berlalu, semangatku bekerja semakin menggebu. Mencari berita terbaik melakukan
survey di berbagai kalangan remaja itu makanan sehari-hariku untuk menampilkan
sebuah artikel pada lembaran majalah remaja. Jam pulang sampai malam seudah
terbiasa bagiku. Pekerjaan jika didasarkan rasa suka, jalaninya pun juga enak.
Malam yang dingin serasa menusuk tulang sendiku. Ruangan
ber-AC menambah tubuhku semakin dingin. Ku berhenti sebentar dengan aktivitasku
dan membuat kopi untuk menemaniku lembur malam ini di kantor. Mengejar deadline untuk besok. Aku tak tahu jika
Pak Rinat masih di kantor dengan beberapa rekan kerjanya. Namun aku tetap melanjutkan
tugas yang harus terselesaikan. Kopi panas telah menghangatkanku malam ini.
Hmmm...jadi suka minum kopi ya aku. Hehe..Mungkinkah gara-gara Pak Rinat.
Tiba-tiba Pak Rinat duduk dibelakang ku sambil memperhatikanku. Haduhhh...lagian gak da teman juga di kantor semua sudah pada pulang. Tinggal aku sendirian. Rasa deg-degan kembali hadir. Kenapa sih gak absen aja rasa deg-degan ini.
Tiba-tiba Pak Rinat duduk dibelakang ku sambil memperhatikanku. Haduhhh...lagian gak da teman juga di kantor semua sudah pada pulang. Tinggal aku sendirian. Rasa deg-degan kembali hadir. Kenapa sih gak absen aja rasa deg-degan ini.
"Kopi
kamu enak, nikmat..bisa kamu buatkan untukku.” Komentar yang tak pernah aku
duga sebelumnya. Aku yang tersadar dengan pujian itu, menoleh kaget.
"Beneran pak???" serasa tidak percaya.
"Panggil saya Mz Rinat," sontak aku tersenyum. Kami serasa ngobrol dengan santai tanpa beban, tanpa ada batasan antara karyawan dan pimpinan. Mz Rinat menemani sampai aku selesai. Senengnya lagi menemaniku pulang ke rumah.
"Beneran pak???" serasa tidak percaya.
"Panggil saya Mz Rinat," sontak aku tersenyum. Kami serasa ngobrol dengan santai tanpa beban, tanpa ada batasan antara karyawan dan pimpinan. Mz Rinat menemani sampai aku selesai. Senengnya lagi menemaniku pulang ke rumah.
Ternyata Mz Rinat orangnya baik
banget. Kejadian malam itu membuatku kagum dan merasa nyaman dengannya. Satu
bulan masa hukumanku akhirnya sudah selesai. Ada rasa lega namun ada sebersit
rasa ingin melakukannya lagi membuatkan secangkir kopi. Bolehkah ku panggil Mz
Coffy??. Pertanyaan ini yang tiba-tiba muncul di kepalaku ketika aku sudah
menyelesaikan hukuman ini. Senyuman yang terlukiskan dan anggukan itu
menandakan jawaban iya. “Iya Renata”
Sebutan Mz Coffy
karena Mz Rinat benar-benar penikmat kopi, sehari tanpa kopi serasa tidak
semangat. Aku tersenyum bahagia. Terima kasih Mz Coffy.....
“Kopi kadang bisa merasakan apa yang
kita rasakan dan memeluk kita dengan hangat lewat
kepulan asapnya”
Komentar
Posting Komentar