Buah Hati yang Pergi
Bukan nama sebenarnya dalam kisah yang sedikit aku ubah ini. Ibu Wati
namanya. Beliau memiliki 3 anak yaitu Hadi, Wahyu dan Fitri. Kedua putra laki-lakinya
berada diperantauan Jakarta, sedangkan Fitri tinggal dengan suaminya di kota. Ibu Wati hanya
tinggal di pelosok desa yang jauh dari hingar-bingar keramaian. Desa Jati
tepatnya. Jauh dengan putra-putri mereka. Menikmati pekerjaan bertani dan
berternak kambing menjadi hiburannya di masa tua. Tiap malam, hanya suara nyanyian
cangkrik dan sesekali suara Radio yang terdengar. Tak ada layar televisi.
Jika ingin pergi ke kota Pacitan, mereka harus berjalan kaki untuk
mendapatkan bus/andongan. Jarak tempuh ke kota tidaklah dekat. Dari rumah harus berjalan kaki kurang lebih 4 km dengan
medan insfrakruktur jalan yang belum tersentuh hitamnya aspal. Hanya bebatuan
besar tertata seakan telah tertidur pulas bertahun-tahun. Apabila hujan turun,
bebatuan yang dilewatipun licin. Tak berhenti di satu jalan, sesampainya di
jalan raya besar pun harus menunggu datangnya andongan untuk menuju ke kota.
Tetapi sekarang kondisi Ibu Wati dan suaminya Pak Juni tak memungkinkan
untuk perjalanan jauh, karena tubuh yang semakin menua. Kaki sudah tak sekuat
dahulu. Kalaupun untuk menyewa andongan
untuk sekadar pergi ke kota mengurus sesuatu juga perlu biaya yang tak sedikit. Oleh karena itu Fitri dan suaminya terkadang pulang menemui orangtua. Mengobati
rasa rindunya, telefon dengan ibu dan bapaknya.
Sedangkan Hadi dan Wahyu pulang ke desa setahun sekali, ya saat lebaran. Jika
itu, ada cuti kerja. Rasa rindu kepada kedua putranya inilah yang tak dapat
dibendung lagi. Orangtua selalu akan mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Rela
melakukan apapun demi anaknya bahagia dan sukses. Sebagai anak pertama, Hadi
tak pernah lupa dengan orang tuanya meskipun dirinya sudah berkeluarga dan
memiliki anak. Begitu juga dengan Wahyu, mengikuti jejak kakaknya untuk
merantau di Jakarta, sayang sampai bertahun-tahun menikah tak kunjung memiliki
anak. Positif dulu, mungkin Tuhan belum memberikan rejeki.
Tapi, apa daya jika Tuhan menentukan rencana lain yang tak pernah manusia
sangka. Karena takdir ada di jemari Tuhan. Sebagai manusia hanya melakukan yang
terbaik. Kabar mengejutkan bagi Ibu Wati dan keluarganya. Wahyu, anak keduanya,
harus berbaring di rumah sakit Jakarta. Infeksi paru-paru penyebabnya. Hati ibu
mana yang tak menangis, jauh dengan anak yang sedang melawan sakit. Orangtua rasanya
ingin pergi ke Jakarta, demi ingin menemui Wahyu. Untung ada kakaknya dan
beberapa kerabat yang menemani Wahyu di sana, sedikit ada rasa lega. Dokter memperbolehkan
Wahyu pulang.
Hari itu, menjadi hari duka yang tak pernah dilupakan oleh Ibu Wati dan
keluarga. Wahyu, dibangunkan oleh istrinya untuk melaksanakan sholat subuh. Selepas
sholat subuh, Wahyu meminta istrinya untuk dibuatkan teh anget. Setelah meminum
teh anget, Wahyu pamit untuk tidur di atas. Tak pernah disangka oleh istri dan
keluarganya. Wahyu tidur untuk selama-lamanya. Duka bagi Ibu Wati, tangis keluarga yang tak
bisa dibendung lagi. Anak jauh dari perantauan, jenazah Wahyu pun dipulangkan
ke Pacitan dari Jakarta dengan ambulance. Lebaran tahun lalu tak bertemu, dan
hari itu bertemu dalam keadaan Wahyu telah berpulang.
Hidup ini adalah perjalanan yang melingkar, manusia diciptakan oleh Tuhan
dan pada akhirnya manusia akan kembali ke sisi-Nya. Karena Tuhan, memegang
takdir manusia.
#OneDayOnePost
#HariKe-11
#HariKe-11
kisah nyata ya, mbak... ikut sedih...
BalasHapusiya mbk, namun sedikit saya ubah..
Hapus